Fakta Menarik di Malioboro yang Perlu Kamu Tahu

Nama Malioboro pasti sudah tidak asing lagi bagi siapa saja yang pernah singgah di Yogyakarta. Malioboro adalah nama salah satu jalan yang berada di pusat kota Yogyakarta. Di sini merupakan suatu kawasan yang merupakan gabungan dari tiga jalan yaitu Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo. Kawasan yang legendaris tersebut membentang dari Tugu Jogja sepanjang 2,5 kilometer hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Keberadaannya yang tepat di titik 0 kilometer Kota Jogja ini membuat wisatawan sangat mudah untuk mencapainya.

Malioboro memang telah menjadi bagian penting dalam roda perekonomian masyarakat Yogyakarta. Selain dikenal sebagai pusat berburu cinderamata, tempat ini juga tak lepas dari sejarah panjang perkembangan Kota Jogja dari masa ke masa. Bahkan, tempat wisata yang satu ini seakan mewakili wajah Jogja di Indonesia bahkan dunia.

Bangunan Kolonial

Di jalan Malioboro ini masih sangat terasa kekunoannya, karena di sekitar jalan ini masih berdiri bangunan-bangunan bersejarah pada zaman Belanda, seperti Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Benteng Vredeburg, Monumen Serangan Oemoem Satu Maret.

malioboro

Ada pula pasar yang terkenal yakni Pasar Beringharjo. Di kawasan ini terkenal juga dengan pedagang kaki lima. Kamu bisa berbelanja aneka produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, bermacam tas, sepatu, sandal, aneka oleh-oleh khas Jogja, dan juga blangkon yakni topi untuk laki-laki khas daerah Jawa. Serta barang-barang logam seperti emas, perak, dan lainnya.

Ketika malam tiba, pesona Malioboro pun tak kalah memukau. Jika di siang hari tempat ini ramai dengan aktivitas wisata belanja, maka di malam hari tempat ini menjadi destinasi wisata kuliner yang menggugah selera. Banyak warung-warung tenda yang mulai membuka lapaknya dengan konsep lesehan. Konsep lesehan tersebut hingga kini masih dipertahankan dan menjadi ciri khas kuliner Jogja.

Wisatawan pun bisa mencicipi berbagai hidangan khas Jogja seperti gudeg, brongkos, mangut lele, soto, sate klathak, ayam goreng, dan sebagainya. Santap malam akan semakin terasa lezat sembari menikmati keindahan Malioboro yang seakan tak pernah tidur. Tak jarang, musisi jalanan akan melantunkan beberapa tembang yang menjadikan suasana malam semakin romantis.

Jalan Malioboro merupakan salah satu elemen penting bagi Yogyakarta baik dari segi ekonomi maupun sejarah. Jika dicermati lebih dalam, kawasan tersebut berada pada suatu garis lurus yang dikenal dengan garis imajiner. Garis tersebut menghubungkan elemen-elemen penting Kota Jogja seperti Gunung Merapi, Tugu Jogja, Keraton Yogyakarta, hingga Pantai Parangtritis.

Baca juga:  Mau Lihat Sunrise di Jogja? Kunjungi 9+ Spot Terbaiknya!

Sejarah

Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer antara Pantai Selatan (Pantai Parangkusumo) – Keraton Yogyakarta – Gunung Merapi. Malioboro mulai ramai pada era kolonial 1790 saat pemerintah Belanda membangun benteng Vredeburg pada tahun 1790 di ujung selatan jalan ini.

Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch Club tahun 1822, The Dutch Governor’s Residence tahun 1830, Java Bank dan Kantor Pos tak lama setelahnya. Setelah itu Malioboro berkembang kian pesat karena perdaganagan antara orang belanda dengan pedagang Tiong Hoa. Tahun 1887 Jalan Malioboro dibagi menjadi dua dengan didirikannya tempat pemberhentian kereta api yang kini bernama Stasiun Tugu Yogya.

Jalan Malioboro juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di sisi selatan Jalan Malioboro pernah terjadi pertempuran sengit antara pejuang tanah air melawan pasukan kolonial Belanda yang ingin menduduki Yogya. Pertempuran itu kemudian dikenal dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yakni keberhasilan pasukan merah putih menduduki Yogya selama enam jam dan membuktikan kepada dunia bahwa angkatan perang Indonesia tetap ada.

Jalan itu selama bertahun-tahun dua arah, namun pada tahun 1980-an menjadi satu jalan saja, dari jalur kereta api (di mana ia memulai) ke selatan – ke pasar Beringharjo, di mana ia berakhir. Hotel terbesar, tertua di Belanda, Hotel Garuda, terletak di ujung utara jalan, di sisi timur yang berdekatan dengan jalur kereta api. Ini memiliki bekas kompleks Perdana Menteri Belanda, kepatihan, di sisi timur.

Selama bertahun-tahun pada tahun 1980-an dan kemudian, sebuah iklan rokok ditempatkan di bangunan pertama di sebelah selatan jalur kereta api – atau secara efektif bangunan terakhir di Malioboro, yang mengiklankan rokok Marlboro, tidak diragukan lagi menarik bagi penduduk setempat dan orang asing yang akan melihat kata-kata dengan Nama jalan dengan produk asing sedang diiklankan.

Tidak sampai ke tembok atau halaman Keraton Yogyakarta, karena Malioboro berhenti bersebelahan dengan pasar Beringharjo yang sangat besar (di sisi timur juga). Dari titik ini nama jalan berubah menjadi Jalan Ahmad Yani (Jalan Ahmad Yani) dan memiliki bekas kediaman Gubernur di sisi barat, dan Benteng Vredeburg Belanda tua di sisi timur.

Baca juga:  12 Kuliner Jogja Menggugah Selera yang Wajib Kamu Coba

Revitalisasi Malioboro

Malioboro merupakan salah satu jalan paling populer di Yogyakarta. Karena perubahan zaman, pemerintah mencoba mengubah wajah Malioboro dengan tetap mempertahankan nilai filosofisnya melalui revitalisasi.

Revitalisasi kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta yang mencakup Jalan Malioboro, Margo Utomo, Pangurakan, dan gerbang pintu barat Kantor Gubernur DIY telah selesai. Diharapkan penataan ini bisa menambah kenyamanan bagi warga yang berwisata di pusat kota itu.

Wacana memperbarui Malioboro muncul secara resmi dalam pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X saat sidang paripurna DPRD DIY pada 21 September 2012. Sultan menyerukan “Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru” sebagai visi Yogyakarta 2012-2017 yang kemudian diejawantahkan sebagai pembangunan.  Perlahan tapi pasti, rencana tersebut mulai diwujudkan. Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melakukan sinkronisasi program pengembangan kawasan strategis keistimewaan DIY dengan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY dan mempersiapkan APBD yang dibutuhkan. Salah satu programnya adalah revitalisasi yang dilakukan untuk mengembalikan kawasan strategis seperti Malioboro kepada bentuk aslinya.

Untuk Malioboro, Sultan mendesak revitalisasi segera dilakukan mengingat kemacetan yang semakin parah terutama di akhir pekan. Program ini juga bertujuan mengoptimalkan fungsi tanah-tanah milik PT KAI agar memiliki nilai ekonomis untuk pertumbuhan ekonomi DIY.

Revitalisasi ini dimulai sejak 2014 dengan melakukan sayembara desain Malioboro. Kemudian 2015, ditata tempat parkir Abu Bakar Ali. Dilanjutkan 2016 pedestarian depan Hotel Inna Garuda dan depan Pasar Beringharjo. Lalu di tahun selanjutnya depan Pasar Beringharjo dan depan Kantor Gedung Agung.

Selasa Wage

Jumlah PKL di Malioboro diperkirakan mencapai 3.500 orang. Ketua Pusat Studi Ekonomi Keuangan dan Industri Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UPN Veteran Yogyakarta Ardito Bhinadi mengatakan PKL diakui memiliki kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di DIY meskipun besarannya belum diketahui secara pasti. Namun keberadaan PKL saat ini memang sudah membuat ruang bagi pejalan kaki menjadi sesak, kurang nyaman di kawasan Malioboro.

Sebagai upaya revitalisasi, pemerintah kota Yogyakarta mencetuskan kegiatan Reresik Jogja dan pembuatan sentra PKL di bekas bioskop Indra. Reresik Jogja atau Reresik Malioboro yaitu mengistirahatkan pedestrian Malioboro selama satu hari alias ‘meliburkan’ PKL setiap Selasa Wage. Pihak PKL merespon pembuatan sentra PKL dengan penolakan. Mereka memilih untuk ditata ketimbang dipindahkan ke lokasi baru.