Frederich Silaban Arsitek Hebat di Balik Megahnya Istiqlal

Bagi umat islam Indonesia pada umumnya, keberadaan masjid Istiqlal sebagai masjid terbesar di AsiaTenggara merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Letaknya yang bersebelahan dengan gereja Katedral juga menjadi simbol adanya kerukunan agama di Indonesia. Tentunya kemegahan sebuah bangunan sebesar masjid Istiqlal tidak terlepas dari karya hebat sang arsitektur yang mengerjakannya yaitu Frederich Silaban.

Latar Belakang Frederich Silaban

Frederich Silaban lahir tanggal 12 Desember 1912 di desa terpencil di bagian utara Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di Desa Bonan Dolok, Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Husudutan (Humbahas). Frederich adalah seorang penganut Kristen Protestan dan anak seorang pendeta yang telah melahirkan berbagai bangunan modern pada masanya termasuk masjid Istiqlal. Meskipun hanya belajar arsitektur secara otodidak pada awalnya, namun Frederich bisa menghasilkan karya-karya fenomenal yang hingga kini masih banyak dijumpai sebagai bangunan bersejarah.

Frederich Silaban dan Masjid Istiqlal

masjid istiqlal salah satu karya rancangan frederich silaban

Pada tahun 1955, Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno mengadakan sayembara membuat desain maket Masjid Istiqlal. Dari ratusan peserta yang ikut sayembara, tiga puluh peserta dinyatakan lolos untuk dilakukan penilaian atas karya mereka termasuk desain milik Frederich Silaban. Setelah itu, dilakukanlah penilaian oleh dewan juri yang terdiri dari Ir Soekarno; Prof Ir Rooseno; Ir H Juanda; Prof Ir Suwardi Hamka; H Abubakkar Aceh dan Oemar Husein Amin.

Bung Karno sebagai Ketua Dewan Juri mengumumkan nama Friedrich Silaban dengan karya berjudul “Ketuhanan” sebagai pemegang sayembara arsitek masjid itu.

Bung Karno menjuluki F. Silaban sebagai “By the grace of God” karena memenangi sayembara itu. Pada 1961, penanaman tiang pancang baru dilakukan. Pembangunan baru selesai 17 tahun kemudian dan resmi digunakan sejak tanggal 22 Februari 1978.

Baca juga:  Alamanda Shantika, Pendiri Startup Muda dengan Segudang Prestasi

F. Silaban mengatakan: “Arsitektur Istiqlal itu asli, tidak meniru dari mana-mana, tetapi juga tidak tahu dari mana datangnya.””Patokan saya dalam merancang hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia dan berdasarkan apa yang dikehendaki orang Islam terhadap sebuah masjid,” lanjut dia.

Kesederhanaan ide Silaban rupanya berbuah kemegahan. Jadilah masjid yang berdampingan dengan Gereja Katedral itu tampak seperti masa saat ini. 

Masjid Istiqlal berdiri di atas lahan seluas 9,5 hektar, diapit dua kanal Kali Ciliwung, kubahnya bergaris tengah 45 meter, dan ditopang 12 pilar raksasa serta 5.138 tiang pancang.

Dindingnya berlapis batu marmer putih. Air mancur besar melambangkan “tauhid” dibangun di barat daya. Dilengkapi menara setinggi 6.666 sentimeter, sesuai dengan jumlah ayat Al Quran, masjid itu mampu menampung 20.000 umat. 

Udara di dalam masjid begitu sejuk walau tanpa dilengkapi pendingin ruangan. Sebab, Silaban membuat dinding sesedikit mungkin supaya angin leluasa masuk. Silaban ingin umat yang sembahyang di masjid itu seintim mungkin dengan Tuhan.

Dari Gambir ke Penjuru Dunia

presiden sukarno sangat dekat dengan frederich silaban
sumber : hitabatak.com

Dikutip dari buku Rumah Silaban; Saya adalah Arsitek, tapi Bukan Arsitek Biasa, Silaban mulai tertarik dengan dunia arsitektur sejak sekolah di Jakarta.

Sayang, “Perderik”, demikian dia dipanggil sang ayah, tak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas karena persoalan biaya.

Karier Silaban di dunia arsitek diawali saat bersekolah di Jakarta. Dia sangat tertarik pada desain bangunan Pasar Gambir di Koningsplein, Batavia, 1929, buatan arsitek Belanda, JH Antonisse.

Baca juga:  Belajar Sukses dari Sang Pembalap Michael Schumacher

Setelah lulus sekolah, Silaban mengunjungi kantor Antonisse. Dia pun dipekerjakan sebagai pegawai di Departemen Umum, di bawah pemerintahan kolonial. 

Kariernya terus meningkat hingga akhirnya ia menjabat sebagai Direktur Pekerjaan Umum tahun 1947 hingga 1965. Jabatannya itu membawa Silaban ke penjuru dunia.

Tahun 1949 hingga 1950, Silaban ke Belanda mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst atau akademi seni dan bangunan.

Pada saat inilah, Silaban mendalami arsitektur Negeri Kincir Angin itu dengan melihat dan “menyentuhnya” secara langsung.

Tidak hanya Belanda, setidaknya 30 kota besar di penjuru dunia telah dikunjungi Silaban. Tujuannya satu, mempelajari arsitektur di negara-negara tersebut.

Perjalanannya ke penjuru dunia, terutama setelah kunjungannya ke India, menyiratkan satu hal bahwa jiwa sebuah bangsalah yang mendefinisikan arsitektur bangsa tersebut.

Perjalanan Silaban itu memengaruhi keinginannya dalam “manifestasi identitas asli Indonesia; negara yang bebas dan progresif” melalui karya-karyanya di Tanah Air. 

Tutup usia

Frederich Silaban tutup usia pada hari Senin, 14 Mei 1984, di RSPAD Gatot Subroto karena mengalami komplikasi.

Selain Istiqlal, peninggalan Silaban hadir di sekitar 700 bangunan penjuru Tanah Air, di antaranya Stadion Gelora Bung Karno (Jakarta/1962), Monumen Pembebasan Irian Barat (Jakarta/1963), Monumen Nasional atau Tugu Monas (Jakarta/1960), Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata (Jakarta/1953), hingga Tugu Khatulistiwa (Pontianak/1938).

“Dia pergi setelah mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah hasil seni atau teknologi, tetapi adalah sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi. Namanya akan dikenang sepanjang zaman,” demikian paragraf penutup di situs bertajuk Silaban Brotherhood.

Untuk mengenang usaha dan jasanya,pemerintah mengganti nama jalan Gedong Sawah di kota Bogor menjadi jalan F. Silaban.