Tips Agar Terhindar dari Perilaku Toxic Positivity terhadap Anak
Memiliki pemikiran yang positif terhadap sesuatu tentu saja merupakan hal yang baik. Akan tetapi, berpikir positif secara berlebihan bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan, termasuk terhadap anak. Toxic positivity sendiri, dilakukan dengan menolak atau mengabaikan sisi negatif dari segala hal. Dan hal tersebut tentunya akan menyebabkan efek yang serius pada kesehatan mental, baik pada orang tua maupun anak sebagai korban perilaku toxic positivity oleh orang tuanya.
Dengan selalu memaksakan diri untuk memikirkan hal positif pada suatu hal, maka ini tentu dapat menghambat respon alami tubuh untuk menghadapi situasi yang sulit. Ingin menghindari rasa ketidaknyamanan memang merupakan sesuatu yang dapat dipahami, namun toxic positivity yang orang tua tunjukkan pada anak justru akan mengajarkan anak untuk menekan setiap pengalaman yang mungkin dianggap negatif. Karena ternyata, seseorang yang selalu berusaha untuk bersikap positif setiap waktu, malah akan berakhir tanpa memiliki alat untuk mengatasi permasalahan yang dibutuhkan. Parahnya lagi, menekan emosi yang dirasakan ternyata tidak akan membuat perasaan negatif tersebut menghilang. Tetapi justru malah akan membuat perasaan negatif tersebut menjadi lebih intens. Selain itu, menekan perasaan negatif juga dianggap dapat mempengaruhi kesehatan, lho.
Apa Dampak Negatif Perilaku Toxic Positivity?
Toxic positivity atau positif beracun merupakan sebuah kondisi bahwa kamu harus fokus pada emosi positif dan aspek positif kehidupan. Karena, orang akan merasa bahagia jika mengabaikan emosi negatif dan bagian hidup yang tidak berfungsi baik. Namun sayangnya dilansir, cara berpikir ini justru dapat merusak kesehatan mental. Ketika kamu hanya berfokus pada hal positif saja, maka kamu tidak belajar cara menghadapi emosi negatif. Oleh sebab itu, perilaku toxic positivity yang ditunjukkan oleh orang tua bisa menyebabkan anak-anak untuk memahami diri mereka dengan lebih baik dan menerima apapun yang terjadi di dalam dirinya, termasuk perasaan tidak menyenangkan seperti kesedihan, kemarahan, ketakutan dan kecemburuan. Padahal semua orang memiliki emosi positif dan negatif yang tentunya tidak dapat diabaikan.
Mengabaikan emosi negatif justru akan membuat perasaan menjadi lebih buruk daripada menghadapinya secara langsung. Di sisi lain, penelitian juga telah menunjukkan bahwa orang yang tidak mengabaikan emosi negatifnya akan lebih mudah untuk beradaptasi dan memiliki kesehatan mental yang lebih baik.
Ada beberapa hal yang bisa membantu kamu sebagai orang tua untuk mengenali toxic positivity pada anak yang umum terjadi dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:
- Menyembunyikan atau menutupi perasaan yang sebenarnya sedang dirasakan.
- Mencoba untuk mengabaikan emosi negatif.
- Merasa bersalah ketika memiliki perasaan atau emosi yang negatif.
- Menyepelekan pengalaman buruk yang menimpa anak.
- Mempermalukan atau menghukum anak karena mengekspresikan frustrasi, putus asa, dan bentuk emosi negatif lainnya.
Bagaimana Cara Menghindari Perilaku Toxic Positivity?
Berusaha untuk menghadapi emosi negatif bisa membantu mengatasi dan mengurangi stres. Caranya adalah dengan memikirkan rasanya ketika kamu mencoba melepaskan atau tidak mengabaikan emosi negatif yang selama ini dipendam. Kamu mungkin akan merasa beban menjadi lebih ringan dan terasa lega di dada, dibandingkan jika harus berpura-pura baik terus-menerus.
Kemudian, cobalah untuk tidak melihat emosi dari baik dan buruknya. Tanamkan di kepala bahwa emosi negatif bisa menjadi pendoman yang membantu kamu memahami banyak hal. Jika kamu merasa sedih meninggalkan suatu pekerjaan, itu artinya kamu sangat menyukainya atau pengalaman itu bermakna. Emosi negatif dan positif yang datang lalu pergi secara bergantian ini dapat membantu kamu untuk memahami diri sendiri dan orang-orang di sekitar, termasuk anak.
Respon yang Tepat untuk Mendukung Anak
Jika hal yang positif tidak selamanya berdampak positif, lalu pertanyaan selanjutnya adalah, respon apa yang sebaiknya kamu berikan kepada anak yang sedang bersusah hati?
- Pertama, jadilah pendengar yang baik. Jika anak mengajak berkomunikasi dan bercerita mengenai hal yang membuat mereka tertekan, sebetulnya hal pertama yang diperlukan anak adalah didengarkan. Maka sebagai orang tua, jadilah pendengar yang baik untuk anak. Biarkan anak mencurahkan isi hati dan keadaan yang sedang alaminya.
- Selanjutnya, cobalah untuk memahami, menganalisa, dan berempati pada situasi anak. Coba tempatkan diri kamu jika berada dalam situasinya. Jika kamu bisa membayangkan situasi yang berat tersebut, setidaknya kamu bisa lebih bijak dalam melontarkan respon.
- Memberikan solusi konkret agar anak bisa keluar dari situasinya yang sedang susah.
- Jika kamu tidak bisa menawarkan solusi yang konkret, sebetulnya diam lebih baik daripada melontarkan dukungan palsu. Hal ini tentu lebih bisa diterima oleh anak, dan kamu sebagai orang tua bisa lebih jujur terhadap diri sendiri dan anak.
Perilaku toxic positivity memang harus dihindari. Kamu tidak perlu terus-terusan memandang segala sesuatu dari emosi positif, tanpa mempertimbangkan emosi negatif. Dengan mempertimbangkan emosi negatif, maka kamu akan bisa memahami suatu kondisi dengan lebih baik. Dan penting untuk diingat bahwa orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak. Jadi, jangan sampai perilaku toxic positivity orang tua malah akan memberikan dampak buruk pada anak.