Mengenang Sastrawan ‘Hujan Bulan Juni’ Sapardi Djoko Damono
Bagi kamu kaum milenial yang mencintai puisi, sastra dan budaya pasti kenal dengan sosok seniman dan sastrawan Sapardi Djoko Damono. Salah satu sosok legenda yang wafat meninggalkan kita pada 19 Juli 2020.
Sebagai seorang seniman terkenal, Sapardi telah banyak membuat karya-karya puisi indah, yang bahkan masih digemari oleh anak muda saat ini. Ingin tahu apa saja karya terkenal Sapardi Djoko Damono dan bagaimana biografi singkatnya? Yuk, kita bahas di bawah ini.
Latar Belakang Kehidupan Sapardi Djoko Damono
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di rumah kakeknya dari pihak ayah di kampung Baturono, Solo, pada tanggal 20 Maret 1940. Ia merupakan putra sulung dari dua bersaudara dari pasangan Sadyoko dan Sapariah.
Sapardi menjalani masa kecilnya bersamaan dengan berkecamuknya perang kemerdekaan Indonesia. Dalam situasi sulit seperti itu, pemandangan pesawat tempur dan pembakaran rumah sudah biasa dialami Sapardi ketika masih kecil.
Sapardi pernah mengisahkan dalam bukunya, awalnya kehidupan keluarga dari pihak ibunya terbilang berkecukupan, namun keadaan berubah seiring berjalannya waktu, mereka harus menjalani keadaan hidup yang kian sulit. Sapardi teringat, saking susahnya kehidupan, ia hanya makan bubur setiap pagi dan sore.
Awal Mula Sapardi Tertarik dengan Dunia Sastra
Pada 1957, Sapardi bersama keluarga meninggalkan Ngadijayan dan pindah ke sebuah kampung bernama Kompang. Saat itu, suasana desa itu masih sangat sepi dan belum ada listrik.
Awal-awal tinggal di rumah baru, Sapardi merasa aneh karena tak lagi bisa pergi menonton pertunjukan wayang kulit seperti yang sering ia lakukan ketika tinggal di Ngadijayan. Namun lambat laun, ia pun terbiasa dengan suasana baru dan memilih untuk lebih banyak tinggal di rumah.
Karena suasana yang ‘aneh’ itu menyebabkan Sapardi memiliki waktu luang yang banyak dan ‘kesendirian’ yang tidak bisa dia dapatkan di tengah kota. Perjalanan hidupnya telah membawanya pada fase baru kehidupannya.
Ketika Sapardi menikmati kesendiriannya itu, dia banyak menghabiskan waktu dengan merenung, mengamati berbagai gejala-gejala alam. Di saat-saat itu juga, ia mulai belajar menulis sebagaimana yang pernah ia katakan, “Saya belajar menulis pada bulan November 1957.”
Waktu itu, Sapardi duduk di kelas 2 SMA. Keinginannya menulis berawal dari kegemarannya membaca sejak kecil. Ia sangat menyukai karya-karya sastra dari beberapa pengarang nasional mamupun luar seperti: W.S. Rendra, Karl May, William Saroyan, dan T.S. Eliot.
Untuk ukuran anak SMA, buku drama puisi karya T.S. Eliot memang tak gampang untuk dicerna. Sapardi sendiri pun mengakui kalau ia hanya mampu memahaminya 25% saja.
Sapardi Djoko Damono dalam Dunia Seni dan Sastra
Di masa kecil, Sapardi dan adiknya, Soetjipto sempat mendapat pemberian berupa wayang kulit dari kakeknya yang mahir membuat wayang kulit. Maka tak heran, Sapardi sesedikit bisa memainkan wayang kulit.
Pada saat masa-masa SMA, Sapardi bertemu dengan Jeihan Sukmantoro dan berteman baik dengannya. Selain berteman dengan seorang pelukis, Sapardi juga memiliki bakat melukis. Karya lukisnya bahkan pernah dilelang untuk amal bersama dengan beberapa pelukis lain.
Dalam dunia teater, Sapardi pernah menjadi sutradara menggarap sebuah pentas drama Petang di Taman karya Iwan Simatupang. Ia juga pernah berperan sebagai lakon ketika tergabung dengan Teater Rendra pimpinan W.S. Rendra.
Dari sekian banyak kemampuan Sapardi dalam bidang seni, ia lebih dikenal sebagai seorang sastrawan lantaran karya-karyanya yang fenomenal. Karya-karyanya di bidang sastra telah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa daerah.
Sapardi menulis puisi sudah sejak duduk di kelas 2 SMA, ketika berumur 17 tahun. Karyanya dimuat pertama kali oleh sebuah surat kabar di Semarang. Tak lama kemudian, karya-karyanya yang berupa puisi diterbitkan di berbagai majalah sastra. majalah budaya, dan buku-buku sastra.
Banyak pengamat menilai sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. “Pada Sapardi, maut atau kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah maut tumbuh,” tulis Jakob Sumardjo dalam harian Pikiran Rakyat, 19 Juli 1984.
Penghargaan yang Pernah Diraih
Selama hidupnya Sapardi banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986, ia mendapatkan anugerah SEA Write Award. Sebuah karya besar Sapardi, Perahu Kertas yang berupa kumpulan sajak, mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kumpulan sajak lain berjudul Sihir Hujan yang kabarnya ditulis ketika dirinya sakit, memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Almarhum juga merupakan salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Sapardi Djoko Damono Tutup Usia
Pada tanggal 19/7/20202 dunia sastra Indonesia berduka, karena Sapardi Djoko Damono telah tutup usia. Sapardi wafat sekitar pukul 09.17 WIB di Rumah Sakit Eka BSD. Kepergian maestro puisi ini cukup meninggalkan duka dan rasa kehilangan yang besar.
Dan kini, saat mengingat kembali semua karya karya Sapardi. Sejenak kita akan kembali pada penggalan puisi indahnya yang berjudul Pada Suatu Hari Nanti.
Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya kucari
Selamat jalan maestro Sapardi Djoko Damono, beristirahatlah dalam damai. Terima kasih sudah meninggalkan jejak-jejak puisi indah untuk dapat dinikmati manusia -manusia dalam peradaban milenial ini.