Berkenalan Lebih Dekat dengan Saung Angklung Udjo
Berjalan-jalan ke kota Bandung tentunya tidak akan lengkap jika tidak mengeksplorasi semua sisi destinasi wisatanya. Termasuk salah satu ikon wisata budayanya yaitu Saung Angklung Udjo.
Saung Angklung Udjo (SAU) berlokasi di Jalan Padasuka 118, tidak jauh dari pusat kota Bandung. Untuk mencapai lokasi tersebut dengan kendaraan pribadi juga sangat mudah.
Namun karena masa pandemi, lokasi wisata tersebut kemungkinan masih belum bisa dibuka untuk umum saat ini. Tapi sebagai persiapan, tidak ada salahnya jika belajar dan berkenalan dengan pendiri sekaligus mengetahui detil wisata Saung Anglung Udjo dahulu sebelum berangkat kesana.
Biografi Sang Pendiri Saung Angklung Udjo, Udjo Ngalagena
Berdirinya Saung Angklung Udjo tidak dapat dilepaskan dari peran Udjo Ngalagena (5 Maret 1929 – 3 Mei 2001) sebagai pendiri Saung Angklung Udjo. Bahkan studi tentang Saung Angklung Udjo dapat dikatakan sangat erat kaitannya dengan studi tentang biografi Udjo Ngalagena dan keluarga.
Selain belajar angklung Ia juga mempelajari pencak silat, gamelan, dan lagu-lagu daerah dalam bentuk kawih dan tembang. Ia mempelajari lagu-lagu bernada diatonis dari HIS berupa lagu-lagu berbahasa Indonesia dan Belanda. Bakat serta kemampuannya makin berkembang ketika ia mulai terjun sebagai guru kesenian di beberapa sekolah di Bandung. Untuk mempertajam kemampuannya ia langsung mendatangi orang yang ahli dalam bidangnya. Teknik permainan kacapi dan lagu-lagu daerah ia belajar dari Mang Koko. Gamelan ia pelajari dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, dan untuk angklung do-re-mi (diatonis) ia dapat bimbingan dari Daeng Soetigna (pencipta angklung bernada Diatonis).
Pengetahuan-pengetahuan tersebut kemudian diolahnya dalam bentuk paket pertunjukan untuk pariwisata dengan mengutamakan materi sajian angklung di sanggarnya (SAU). Kehadiran sanggar ini merupakan suatu sarana bagi Udjo untuk dapat mencurahkan jiwa kependidikan yang dimilikinya melalui seni angklung, sekaligus sebagai sarana penyaluran jiwa kewirausahaannya dengan menjual pertunjukan maupun alat musik bambu.
Udjo Ngalagena wafat pada tanggal 3 Mei 2001. Kemudian pengelolaan SAU diteruskan oleh putra-putrinya. Para wisatawan masih ramai mengunjungi sanggar budaya yang fenomenal itu.
Sejarah Panjang Saung Angklung Udjo
Sejarah dimulai pada tahun 1966, sepasang suami istri yang dikaruniai 10 anak, yaitu Udjo Ngalagena dan Uum Sumiati, mulai mendirikan sebuah sanggar kebudayaan dan kesenian Jawa Barat, mereka memilih bambu sebagai elemen yang mendominasi sanggar tersebut. Mulai dari kursi para pengunjung, panggung pertunjukan, hingga alat musik pun terbuat dari bambu.
Kala itu, Udjo Ngalagena menyerap filosofi 5M dari gurunya, yakni Daeng Soetigna, untuk menerapkannya sebagai konsep Saung Angklung Udjo. 5M tersebut adalah Murah, Menarik, Massal, Mudah dan Mendidik. Seiring waktu berjalan, Udjo menyempurnakannya dengan penambahan konsep ‘Meriah’.
Tidak terduga, ternyata penerapan konsep tersebut, ditambah dengan lokasi sanggar yang berada di tengah-tengah atmosfer segar di tanah Parahyangan, berhasil membuatnya digemari oleh para wisatawan. Setiap tahunnya, pengunjung sanggar kian bertambah. Dari waktu ke waktu, SAU berubah menjadi pusat perhatian para pelaku budaya.
Tak sampai di situ, berbagai pertunjukan kesenian yang dipertontonkan mampu memberikan kesan yang mendalam bagi para pengunjung. Sepanjang waktu berdirinya, Saung Angklung Udjo berhasil memberikan tawa, kesenangan, keceriaan, kesan, celoteh dan semangat untuk terus melestarikan budaya kepada para pengunjungnya.
Tamu-tamu luar dan dalam negeri berdatangan setiap sore untuk menikmati sajian pertunjukan kesenian tradisional berkualitas tinggi khas Jawa Barat, tak jarang mereka selalu ikut larut dalam permainan angklung dan tarian anak-anak belia. Dari mulai Wayang, Tarian dan Angklung mampu membuat takjub para pengunjung untuk datang berkali-kali ke Saung Angklung Udjo. Jiwa entertainer Udjo mampu menyatukan antara kesenian, anak-anak dan lingkungan menjadi sebuah sajian pertunjukan yang harmonis di depan para pengunjungnnya.
Usaha Turun-Temurun
Kepiawaian dan keahlian Udjo ternyata menurun kepada para putra-putrinta. Awal tahun 90-an mulailah era putra-putrinya yang meneruskan SAU di bawah bimbingan Udjo sendiri. Karena kondisi kesehatan Udjo jarang untuk memimpin sebuah pertunjukan, hanya sesekali apabila sedang sehat Udjo muncul dalam pertunjukan yang dipimpin oleh para putranya sekadar mengucapkan salam kepada para pengunjung dalam berbagai bahasa (Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, serta negara lainnya).
Sepeninggal Udjo Ngalagena (03 Mei 2001) Saung Angklung Udjo mulai diteruskan oleh para putra-putri. Tak ada yang berubah SAU tetap ramai dikunjungi para touris dalam dan luar negeri, anak-anak masih riang gembira memainkan angklung. Gemuruh tepukan dan senyum kagum penonton masih selalu hadir di setiap akhir pertunjukan.
Saung Angklung Udjo di Masa Pandemi
Tidak bisa dipungkiri, adanya pandemi COVID-19 ini cukup parah menghantam aspek wisata Indonesia, tidak terkecuali Saung Angklung Udjo. Kondisi kota Bandung yang menerap PSBB membuat wisatawan tidak bisa keluar masuk kota Bandung seperti sebelumnya. Ini jelas berpengaruh pada jumlah wisatawan yang biasanya berkunjung ke SAU secara kelompok dan berkala.
SAU memiliki nyaris seribu karyawan. Mereka terdiri dari 400 pemain musik, 200 pekerja di bagian produksi, dan sisanya para pengrajin. Taufik menyebut ada lebih dari 600 orang yang bekerja langsung di SAU setiap harinya, bila ditambah dengan supplier dan pekerja acara, jumlah melonjak menjadi sekitar 1.000.
Para pekerja SAU itu saat ini sebagian besar dirumahkan, sisanya memilih mundur dan hanya beberapa yang bertahan dengan gaji kurang dari setengah dari semula. Pemotongan gaji dilakukan sejak April tahun 2020 lalu.
Tentunya kondisi memprihatinkan ini, diharapkan segera berakhir agar masyarakat Indonesia bisa beraktifitas secara bebas lagi. Dan yang terpenting bisa berwisata dan mengunjungi Saung Angklung Udjo di Bandung.